Bismillah.
Dalam bahasa Jawa, kalimat ‘ojo bosen’ artinya, “Jangan bosan.” Ya, pelajaran tauhid sangat penting untuk terus diulang dan diperdalam. Oleh sebab itu jangan kita bosan-bosan belajar ilmu tauhid ini. Karena ilmu tauhid adalah ilmu yang paling mulia.
Ustaz Afifi hafizhahullah dalam pengajian yang disampaikan di Masjid Jami’ al-Mubarok – Yogyakarta hari Ahad, 4 Dzulqa’dah 1440 H atau bertepatan dengan 7 Juli 2019 menyampaikan nasihat kepada segenap hadirin, “Bahwa ilmu tauhid adalah ilmu yang paling mulia. Ilmu yang paling mendasar. Dan ilmu inilah yang mengantarkan hamba sehingga bisa mengenal Allah dan mewujudkan ubudiyah/penghambaan yang khalishah/murni untuk Allah.”
Kaum muslimin yang dirahmati Allah, apabila kita hendak membangun sebuah bangunan maka tentu saja yang paling pertama kita buat adalah pondasinya sebelum yang lainnya. Kedudukan tauhid di dalam agama ini pun laksana fungsi pondasi bagi sebuah bangunan. Agama Islam ini bagaikan sebuah bangunan, sedangkan tauhid dan aqidah merupakan pondasinya.
Perkara aqidah yang itu mencakup keimanan kepada Allah, para malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, hari akhir, dan keimanan kepada takdir; merupakan pondasi kehidupan seorang muslim. Keenam perkara ini biasa disebut oleh para ulama dengan istilah rukun iman. Diantara keenam rukun ini maka iman kepada Allah adalah yang paling pokok. Keimanan kepada Allah inilah yang dikenal juga dengan istilah tauhid atau aqidah tauhid.
Tauhid mengandung makna mengesakan Allah dalam beribadah. Kita tujukan segala bentuk ibadah -kecil atau besar, yang tampak maupun yang tersembunyi- hanya kepada Allah, dan kita tinggalkan peribadatan kepada selain Allah. Inilah prioritas dakwah setiap rasul kepada umatnya. Sebagaimana firman Allah (yang artinya), “Dan sungguh telah Kami utus kepada setiap umat seorang rasul yang menyerukan; Sembahlah Allah dan jauhilah thaghut.” (an-Nahl : 36)
Setiap nabi menyerukan kalimat tauhid laa ilaha illallah. Di dalamnya telah terkandung perintah untuk beribadah kepada Allah dan menjauhi syirik. Allah berfirman (yang artinya), “Dan tidaklah Kami utus sebelum kamu seorang rasul pun melainkan Kami wahyukan kepadanya; bahwa tidak ada ilah/sesembahan -yang benar- selain Aku, maka sembahlah Aku.” (al-Anbiya’ : 25)
Menjauhi syirik bukanlah perkara sepele dan remeh. Bahkan seorang nabi yang mulia dan rasul pilihan yang mendapat gelar sebagai khalil/kekasih ar-Rahman yaitu Nabi Ibrahim ‘alaihis salam berdoa kepada Rabnya (yang artinya), “Dan jauhkanlah aku dan anak keturunanku dari menyembah patung-patung.” (Ibrahim : 35). Hal ini menunjukkan rasa takut beliau yang begitu besar kalau-kalau dirinya terseret dan terjerumus dalam lembah kesyirikan. Mengomentari doa Nabi Ibrahim ini seorang ulama terdahulu bernama Ibrahim at-Taimi rahimahullah berkata, “Lantas siapakah yang bisa merasa aman dari malapetaka/syirik ini setelah Ibrahim?”
Syirik adalah perusak amalan bahkan ia bagaikan nuklir yang akan meluluhlantakkan semua amal kita. Allah berfirman (yang artinya), “Dan seandainya mereka itu melakukan syirik pasti akan lenyap seluruh amal yang pernah mereka kerjakan.” (al-An’am : 88). Allah juga berfirman (yang artinya), “Dan Kami hadapi semua amal yang dahulu mereka kerjakan lalu Kami jadikan ia bagaikan debu-debu yang beterbangan.” (al-Furqan : 23)
Untuk bisa membedakan apakah suatu perbuatan termasuk syirik atau bukan tentu dibutuhkan ilmu dan pemahaman. Kalau kita bersemangat untuk belajar pembatal-pembatal sholat atau pembatal-pembatal wudhu tentu wajar apabila kita lebih bersemangat untuk mempelajari pembatal-pembatal tauhid dan keimanan. Sebagian penyair arab mengatakan :
Aku kenali keburukan bukan untuk melakukannya
Akan tetapi untuk menjauhinya
Barangsiapa tidak mengenali keburukan itu apa
Pasti akan jatuh ke dalamnya
Pemahaman agama merupakan kunci kebaikan seorang hamba. Dan diantara perkara paling pokok dalam agama ini adalah memahami tauhid dan aqidah Islam. Termasuk juga mempelajari berbagai perkara yang membatalkan keimanan semacam syirik dan kekafiran. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang Allah kehendaki kebaikan padanya maka Allah pahamkan dia alam hal agama.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Untuk bisa memahami berbagai sebab rusaknya aqidah dan tauhid tentu dibutuhkan proses belajar dan kesabaran dalam menimba ilmu. Para ulama kita mengatakan, “Sesungguhnya ilmu itu dituntut seiring perjalanan siang dan malam.” Artinya butuh waktu dalam belajar agama. Ambillah contoh ilmu matematika; sejak SD kita sudah belajar matematika, di SMP kita juga mempelajarinya, di SMA pun kita terus mendalaminya. Itu dalam hal ilmu dunia. Bagaimana lagi dengan ilmu agama; yang itu menjadi sebab kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat? Apakah layak kita jadikan pelajaran agama hanya sebagai sampingan, atau bahkan disingkirkan dari kurikulum sekolah-sekolah?!
Kita mengetahui bersama keadaan negeri ini dengan segenap praktek keagamaan masyarakatnya dan tradisi yang turun-temurun. Tidak sedikit diantara kaum muslimin yang masih saja terjebak dalam takhayul, bid’ah dan khurafat yang itu telah coba diberantas oleh para ulama Nusantara semacam Imam Bonjol, KH. Ahmad Dahlan, dan yang lainnya. Gerakan dakwah Muhammadiyah di awal masa kebangkitannya pun mengenalkan kepada kita tentang pentingnya tauhid dalam kehidupan ini dan besarnya bahaya syirik bagi pribadi dan masyarakat. Sebuah perjuangan besar yang patut untuk kita hargai dan kita lanjutkan bersama.
Kita tidak hanya mengharapkan bahwa pendidikan agama di sekolah-sekolah itu bisa lebih disempurnakan, bahkan kita pun mendambakan pelajaran tauhid dan aqidah Islam ini bisa diberikan di bebagai jenjang pendidikan dari TK, SD hingga perguruan tinggi bahkan S1 – S3. Tidakkah kita ingat perkataan jujur dari sebagian ilmuwan, “Ilmu pengetahuan/sains tanpa agama itu buta…” Nah, bagaimana mungkin kita ridha dengan kebutaan dalam hal agama dan aqidah? Kalau buta huruf saja kita berusaha keras untuk memberantasnya, bagaimana lagi dengan buta tauhid?!
Padahal Allah menciptakan kita semua ini untuk mentauhidkan-Nya. Allah berfirman (yang artinya), “Dan tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku.” (adz-Dzariyat : 56). Ibnu ‘Abbas radhiyallahu’anhuma menafsirkan bahwa setiap perintah beribadah di dalam al-Qur’an maka itu artinya adalah perintah untuk bertauhid, silahkan periksa kitab tafsir karya Imam al-Baghawi yang berjudul Ma’alimut Tanzil.
Bagaimana ini, Bung?! Tentu kita tidak ingin generasi masa depan bangsa ini -yang notabene mayoritas muslim- menjadi generasi yang buta Islam. Islam hanya menjadi ritual dan tradisi tanpa makna. Mereka yang sering mengatakan bahwa Islam ini rahmatan lil ‘alamin -dan memang demikianlah kenyataannya- seringkali kebingungan ketika ditanya apa itu tauhid? Apa itu makna kalimat tauhid? Yang lebih menyedihkan lagi apabila ada orang yang dianggap cendekiawan muslim ngalor-ngidul membahas tauhid tetapi ujung-ujungnya dia ingin mengatakan bahwa dakwah tauhid -dalam artian seruan untuk memurnikan ibadah kepada Allah- itu sudah ketinggalan jaman. Seolah-olah dia ingin mengatakan bahwa jaman sekarang ini -zaman now kata orang- sudah jaman moderen bukan lagi masanya ‘meributkan’ masalah aqidah dan tauhid [?} Subhanallah…
Seolah-olah kita ini lupa atau pura-pura lupa, bahwa perjuangan para ulama pendahulu di negeri ini untuk membela tanah air dari serangan penjajah termotivasi dari kalimat tauhid dan ruh perjuangan Islam. Siapa yang meragukan sejarah bahwa Bung Tomo mengobarkan semangat perjuangan kaum muda negeri ini di kala itu dengan seruan kalimat takbir? Apakah kita hendak membohongi sejarah? Maka ambillah pelajaran, wahai orang-orang yang memiliki akal pikiran…